A.A. NAVIS DAN CERPEN DUNIA AKHIRAT
SANG waktu berlalu bagaikan kilat. Bunga mawar yang mekar kemarin, di mana ia hari ini?
DALAM lintasan waktu yang bagaikan kilat itu, tanpa terasa, Ali Akbar Navis menginjak usia yang ke-70 tahun. Patutlah hal ini dipandang sebagai anugerah-Nya yang luar biasa yang tidak semua orang memperolehnya. Usia rata-rata manusia Indonesia adalah antara 60 sampai 62 tahun.
Ali Akbar Navis atau yang dalam keseharian dikenal sebagai A.A. Navis, seperti kebanyakan sastrawan kita, adalah seorang otodidak dalam bidang ini. Dan benarlah bahwa tidak ada sekolah yang mampu melahirkan seorang sastrawan. Sastrawan lahir dari pergolakan batin di tengah pasang surutnya kehidupan masyarakat.
Dasar-dasar berkesenian A.A. Navis boleh jadi diperolehnya di perguruan INS Kayutanam yang ditamatkannya pada tahun 1943. Selebihnya ialah pergulatan pribadi yang tak henti-hentinya untuk menguasai dan menekuninya. Maka menjadilah Navis seorang seniman komplet: pelukis, pematung, pemusik, penulis dan sastrawan andal. Kepada semuanya ini patut ditambahkan perannya sebagai wakil rakyat ketika ia duduk sebagai anggota DPRD Tk. I Sumatera Barat di bawah panji-panji Golongan Karya.
A.A. Navis pernah menjadi Kepala Urusan Kesenian Perwakilan Jawatan Kebudayaan Sumatera Tengah di Bukittinggi. Mungkin karena duduk berjam-jam sebagai orang kantoran dianggapnya memasung kreativitasnya, Navis pamitan dengan kantor tersebut. Selanjutnya dia menjadi seorang “penganggur” yang produktif.
Dari kantor yang digelutinya beberapa tahun itu ia mendapat pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman itu menyebabkan dia disapa oleh sahabat karibnya Rustam Anwar dengan sebutan Pak Kantor. Ketika pertama kali mendengar sapaan yang kedengaran lucu itu, saya merasa sedikit heran. Roestam Anwar segera memupus keheranan saya itu dengan menerangkan bahwa ‘Pak Kantor’ adalah cerbung A.A. Navis yang dimuat dalam Harian Nyata yang terbit di kota Bukittinggi.
Cerbung ‘Pak Kantor’, seperti yang dikisahkan Rustam Anwar kepada saya, ialah tentang kepala kantor yang pemalas. Sang kepala ini tidak betah duduk di belakang meja, tetapi agaknya ia tetap membutuhkan kedudukan itu. la sering keluar kantor dengan tujuan yang tidak jelas. Akan tetapi, dengan maksud untuk menakut-nakuti bawahannya, sang kepala selalu meninggalkan kopiahnya di atas meja untuk memberi kesan bahwa sang kepala masih berada di sekitar sana.
Kepala kantor itulah yang dimaksud Navis dengan Pak Kantor yang menjadi sasaran olok-oloknya. Jauh sebelum kita mengenal istilah korupsi waktu, Pak Kantor sudah melakukannya. Setidak-tidaknya hal semacam itu telah mulai terjadi pada penggalan awal tahun 1950-an ketika Navis masih menjadi orang kantoran. Di sini tertangkap kepekaan Navis terhadap tindak-tanduk sebagian orang kantoran yang kini kita kenal dengan istilah birokrasi dan birokrat.
Dengan cerbung ‘Pak Kantor’ itu Navis menunjukkan kualitasnya sebagai satiris yang menggigit. Sungguhpun demikian, cerpennya yang berjudul ‘Robohnya Surau Kami’ (RSK) mengandung kadar sendiri yang lebih kental. Cerpen ini pulalah yang membawa Navis ke puncak teratas tangga kesusastraan Indonesia. Belum ada sebuah cerpen yang ditulis sastrawan Indonesia yang setenar RSK. Bahkan sampai hari ini RSK belum kehilangan aktualitasnya sebagai cerpen yang patut dibaca oleh setiap orang.
Keunggulan RSK terletak pada kesederhaannya, baik tema maupun gaya penulisannya. Menarik juga untuk diamati bahwa mereka yang membaca cerpen tersebut tidak terangsang untuk memprotesnya. Hal ini disebabkan apa yang dikemukakan Navis memang perlu selalu dikaji ulang.
Tidak demikian halnya dengan cerpen ‘Langit Makin Mendung’ karya Ki Panji Kusmin yang dimuat dalam majalah Sastra pimpinan H.B. Jassin. Seperti RSK, ‘Langit Makin Mendung’ juga mempersoalkan agama dan akhirat. Akan tetapi, cerpen Panji Kusmin itu menimbulkan kegemparan dan mendapat protes dari berbagai pihak. H.B. Jassin diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman percobaan. Dan ini adalah untuk pertama kalinya karya sastra Indonesia dipersoalkan di depan hukum.
RSK berkisah tentang seorang Kakek yang mengabdikan hidupnya demi akhirat. Baginya agama ialah kesadaran akan hidup sesudah mati tanpa menghiraukan tanggung jawab duniawi. Setiap hari sang Kakek hanyalah berkiprah untuk akhirat. Begitulah pemahamannya tentang agama (Islam).
Sekali peristiwa, ‘keteguhannya’ terhadap agama terusik. Ajo Sidi datang menemuinya dan bercerita bahwa orang-orang yang hanya memikirkan akhirat saja, akan dilempar ke dasar neraka. Allah akan menghukum mereka dan menempatkan mereka di kerak api neraka.
Cerita Ajo Sidi ini sangat menyinggung perasaan Kakek. Cerita itu tidak lain dari sindiran yang dialamatkan kepada Kakek. la memang hanya memikirkan akhirat dan ia bangga berbuat demikian. Itulah sebabnya sindiran Ajo Sidi sangat menusuk perasaannya bahkan merupakan penghinaan yang amat sangat. Karena tidak tahan dengan sindiran seperti itu, Kakek pun bunuh diri. Fatalisme ini sebenarnya dapat dielakkan Navis.
Tema yang digarap Navis untuk cerpen RSK adalah mengenai salah satu ajaran Islam yang berbunyi: Kerjakanlah duniamu, seolah-olah kau akan hidup selama-lamanya; kerjakanlah akhiratmu, seakan-akan kau akan meninggal esok hari. Ajaran ini menyangkut keseimbangan yang harmonis antara dunia dan akhirat. Penganut Islam boleh saja mencari kekayaan sebanyak-banyaknya asal dia selalu mengingat pentingnya akhiratnya, tidak melupakan ibadahnya. Berkiprah dalam masyarakat sama pentingnya dengan bertaqwa dan bersujud kepada Allah. Itulah sebabnya mengapa RSK ini merupakan cerpen dunia akhirat, walaupun kedengarannya agak berlebih-lebihan.
Pemilihan tokoh Ajo Sidi untuk menyampaikan sindiran kepada Kakek boleh jadi bukanlah hal yang kebetulan. Masyarakat Pariaman, salah satu kabupaten di Sumatera Barat, sangat dikenal karena kemampuanynya menyindir dan mencemooh. Jadi sangatlah tepat bila Navis menyindir pemahaman agama Kakek yang pincang itu melalui Ajo Sidi yang menurut namanya tentulah berasal dari Pariaman.
Ketika meresmikan sebuah surau baru di Kabupaten Solok, seorang pembicara yang juga penyandang dana, berkata, “Kalau A.A. Navis menulis cerpen ‘Robohnya Surau Kami’, sekarang marilah kita menulis cerpen lain dengan judul “Bangkitnya Surau Kita.” Apa yang dikemukakan oleh Drs. Hari Subianto itu merupakan usaha untuk membangkitkan kesadaran tentang kehadiran sebuah surau yang harus dipelihara. Drs. Yusra Tansin yang ikut membiayai surau tersebut menambahkan, “Marilah kita gunakan surau ini untuk beribadah secara benar sehingga Ajo Sidi tidak usah datang ke sini menyindir kita.”
Kedua orang yang ikut membiayai pembangunan surau yang berharga sekitar Rp100 juta itu bukanlah sastrawan. Lebih dari itu, rasanya mereka tidak mempunyai kaitan yang dekat dengan kesusastraan. Mereka adalah dua orang sarjana ekonomi yang berkiprah di bidang pembangunan dan perbankan. Ketika ditanya dari mana ia mendapatkan cerita yang ditulis A.A. Navis itu, keduanya menjelaskan bahwa di SMA dahulu mereka sudah membacanya. Karena menariknya, cerita itu rupanya menetap dalam ingatan mereka.
‘Maa Rabbuka?’ adalah cerpen A.A. Navis yang kedua (sesudah ‘Robohnya Surau Kami’) yang mengambil agama sebagai Iatar belakang. Isinya adalah tentang dua bersaudara, Djamain dan Djamalin, yang mempunyai watak yang sangat berbeda. Djamain boleh dikatakan seorang yang bebas dalam arti yang buruk. la suka mengumpulkan gambar-gambar porno, minum-minum dan berjudi. Dia jauh dari agama. Sebaliknya Djamalin adalah lelaki yang taat, alim dan dekat dengan agama.
Djamalin sering menasehati Djamain agar dalam hidup ini kita harus bersiap pula untuk akhirat. Akan tetapi, nasehat tersebut tidak digubris oleh Djamain.
Setelah Djamain meninggal dunia, empat puluh langkah setelah pelayat meninggalkan kubur, datanglah malaikat menemui Djamain. Pertanyaan pertama, sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam, malaikat bertanya, “Maa Rabbuka? (Siapakah Tuhan engkau?)” Selanjutnya terjadilah dialog antara malaikat dengan Djamain. Pebicaraan ini rupanya membuat malaikat terlalai.
Kemudian Djamalin meninggal pula. Malaikat mengajukan pertanyaan yang sama seperti yag diajukan kepada Djamain. Ringkas Cerita, akhirnya Djamain disepak oleh malaikat dan terjatuh ke dalam surga. Sebaliknya Djamalin yang alim dan taat beragama, juga disepak oleh malaikat. Akan tetapi nasibnya sial, dia terlempar ke neraka.
Cerpen ‘Maa Rabbuka?’ itu pertama kali dimuat dalam harian Nyata tahun 1957. Ketika itu saya menjadi Wakil Pemimpin Redaksi sekaligus redaksi budaya harian tersebut. Setelah cerpen yang dimuat dalam harian Nyata edisi Minggu itu beredar, pembaca pun memprotes dengan hebatnya. Mereka tidak menerima bila masalah agama dibawa-bawa ke dalan cerita pendek. Mereka menganggap cerpen itu sebagai memprolok-olok agama. Karena kerasnya protes, redaksi Nyata menempuh kebijaksanaan, yaitu menyatakan mencabut cerpen itu dan dianggap sebagai tidak ada. Barulah pembaca dapat ditenteramkan, akan tetapi oplah (tiras) koran sedikit menurun.
Benarkah Navis lewat cerpennya dalam harian Nyata itu memperolok-olok agama?
Jika disimak riwayat hidup Navis, ia bukanlah sosok yang anti agama atau tidak beragama. Hal itu dibuktikannya dengan penuh kesadaran melakukan ibadah haji ke Mekkah. Yang ditujunya ialah memberi makna yang jelas kepada ajaran agama seperti yang dilakukan lewat cerpennya ‘Robohnya Surau Kami’.
Pada sekitar ‘tahun 1950-an kita melihat banyak pahlawan kesiangan. Mereka dianggap dan dihargai sebagai pejuang, padahal meraka tak tidak pernah berbuat apa-apa untuk bangsa dan negara. Akan tetapi justru mereka yang mendapat penghargaan. Sebaliknya, mereka yang benar-benar berjuang, tersingkir secara menyedihkan. Itulah sebenarnya yang disindir Navis lewat cerpen ‘Maa Rabbuka?’. Hanya saja kebanyakan masyarakat menangkapnya dari sisi lain. Itulah masalahnya.
Harian Nyata adalah harian yang pertama kali yang terbit setiap hari, termasuk pada hari, Iibur. Belakangan tahun 1980-an, harinan Singgalang (Padang) pernah juga terbit seperti itu. Sekarang sudah terbit biasa. Harian Nyata sendiri terhenti terbit setelah pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada awal tahun 1958.
Masih ada beberapa karya sastra Navis lainnya yang baik berupa cerpen maupun novel. Akan tetapi, RSK merupakan karyanya yang paling terkenal. Karya berbobot memang tidak mesti banyak. Satu atau dua saja cukuplah, namun monumental. Dan Navis telah melakukannya.
Navis menjelajahi medan penulisan yang luas. la tidak terpaku pada penulisan karya sastra semata. la juga menulis tentang riwayat perjuangan pengusaha pribumi Hasjim Ning. Kebudayaan Minangkabau menjadi perhatiannya pula seperti yang ditulisnya dalam Alam Terkembang Jadi Guru. Buku yang tersebut belakangan ini merupakan hasil pendalaman Navis yang sangat berharga. Dengan buku ini Navis menampilkan dirinya sebagai seorang penulis yang tekun, hingga lahirlah sebuah buku yang perlu dibaca dalam rangka pembangunan budaya nasional.
Alam Terkembang Jadi Guru adalah falsafah hidup orang Minang. Maksud ungkapan itu ialah: jadikanlah kehidupan itu sebagai suatu pelajaran dan petiklah hikmah dari alam raya ini. Mungkin intinya tidak jauh dari apa yang kini kita dengar sebagai back to nature. Berbeda dari kebanyakan buku mengenai kebudayaan Minang Iainnya yang penuh mitos, Navis membicarakannya dengan penalaran dan kacamata modern. Tulisan Navis merupakan konsumsi untuk pikiran yang kritis, bukan berupa lamunan yang dicari-cari. Itulah sebabnya kenapa buku Alam Terkembang Jadi Guru patut dibaca dan dipelajari dalam rangka pembangunan dan pengembangan budaya nasional. Buku tersebut benar-benar mempunyai makna yang besar bagi masyarakat Minang sendiri.
***
PADA tahun 1958 pecahlah pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Pemberontakan ini berakhir pada ujung tahun 1961. Sejak berakhirnya pemberontakan itu, kita dapat melihat tugu-tugu pembebasan. Setiap nagari, mungkin tanpa kecuali, mempunyai tugu peringatan tentang pembebasan nagari tersebut dari tangan PRRI. Entah berapa ton semen yang digunakan untuk membangun ribuan tugu seperti itu. Kini Anda tidak lagi akan menemukan tugu-tugu tersebut karena sudah diruntuhkan semasa kegubernuran Drs. Harun Zain.
Barangkali “karya” besar Navis untuk masyarakat Minang ada hubungannya dengan runtuhnya tugu-tugu tersebut. Waktu itu Navis menjadi anggota DPRD Tk. I Sumatera Barat. la termasuk salah seorang yang dengan diam-diam mendesak gubernur dan eksekutif lainnya agar tugu-tugu pembebasan itu dihancurkan. Langkah dan pikiran ini diambilnya bukan karena ia terlibat PRRI, melainkan karena ia melihat kehadiran tugu-tugu tersebut akan memperpanjang trauma masyarakat Minang. Tugu-tugu itu akan menjadi impitan jiwa yang tidak berkesudahan.
Bagaimanapun juga, pemberontakan PRRI itu pada mulanya didukung secara luas di Sumatera Barat. Intinya ialah menolak komunisme yang waktu itu sedang dirangkul oleh Bung Karno. Hampir di setiap rumah tangga ada oknum keluarga yang terlibat dalam PRRI. Selama tiga setengah tahun Sumatera Barat menjadi ajang pertempuran yang meminta korban besar, baik korban jiwa maupun harta
benda. Peristiwa yang traumatis ini tidak mudah dilupakan. Dengan berdirinya tugu-tugu pembebasan itu, kenangan pahit itu mungkin tidak akan terhapus selama-lamanya. Akibatnya bisa sangat buruk. Orang Minang atau masyarakat Sumatera Barat dapat kehilangan harga diri. Barangkali inilah yang dilihat Navis.
Tidak diketahui siapa saja yang telah menjadi motor penggerak untuk meruntuhkan tugu-tugu tersebut, tapi Navis termasuk di antara orang-orang yang memikirkan dampaknya kepada kejiwaan masyarakat. Syukurlah bahwa kini tidak ada lagi satu pun juga tugu semacam itu. Setiap orang, apakah ia eks-PRRI atau bukan dapat ikut dalam membangun kampung halaman tanpa beban mental.
***
DALAM hidupnya, Navis pernah menjadi guru. Belakangan ia bahkan mengajar di perguruan tinggi dalam mata kuliah sosiologi Minangkabau. Kiprahnya di bidang pendidikan ini rupanya tidak pernah dilepaskanya. la tercatat sebagai salah seorang pengurus inti badan yang mengelola perguruan INS Kayutanam, yang tidak lain dari almamaternya. Perguruan yang pernah menjadi kebanggaan ini terus dikembangkan agar ia mampu kembali menjadi perguruan yang diminati.
Sepanjang kariernya sebagai sastrawan dan budayawan, Navis banyak memperoleh hadiah dan penghargaan. Akan tetapi, agaknya tidak ada hadiah dan penghargaan yang lebih membanggakan ketika musim haji 1994 ini ia menunaikan rukun Islam yang kelima. Kini Ali Akbar Navis sudah haji dan kita tentu yakin bahwa di tangan seorang haji, surau kami tidak akan roboh. Semoga ia menjadi haji yang mabrur. Amin.
000
Leave A Comment