MENANGGAPI KEGANJILAN

 

SEJAK lama saya mendengar nama A.A. Navis, yaitu ketika saya masih di SMA (di Solo) sebagai pembaca setia majalah Kisah. Navis saya kenal sebagai seorang sastrawan. Namun baru tatkala Prof. Harun Zain menjadi Gubernur Sumatera Barat saya benar-benar dapat bertemu dengan orangnya.

Orang bilang, manusia “sejenis” dengan sendirinya terkumpul secara alamiah. Kalau saya merasa dekat dengan Abang Navis tentu bukan karena saya adalah sastrawan seperti dia. Kami memang sama-sama suka menulis dalam berbagai kolom di koran-koran, termasuk di Harian Singgalang yang terbit di Padang. “Kesejenisan” itu bukan dari sudut profesi, tetapi mungkin sekadar sama-sama suka ceplas-ceplos dalam menanggapi keganjilan-keganjilan. Kami sering sama dalam perhatian dan sekaligus pula dalam keprihatinan, sama dalam keterbukaan, vokal mengenai kepentingan rakyat banyak, tentang konsep pembangunan, kemajuan, budaya dan tentang peradaban. Entah berapa kali saya bertemu dengan abang saya ini, tetapi boleh dikata hampir setiap kali apabila Pemda Sumatera Barat atau Gubernurnya punya hajat di Padang dan di Bukittinggi.

***

ADA beberapa, di antara banyak hal, Navis bertukar pikiran dengan saya yang menjadi perhatian bersama kami.

Pertama, mengenai pembangunan nasional kita yang terlalu berorientasi makro, yang kurang menukik ke bumi (down-to earth) sehingga tidak menggapai rakyat banyak, termasuk rakyat di daerah, seperti misalnya di Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa Pemerintah Pusat tidak berbuat cukup banyak buat rakyat di daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil. Kebijaksanaan Pusat sangat sentralistis sehingga rakyat di daerah belum berkesempatan untuk dapat berfungsi sebagai partisipan pembangunan sepenuhnya. Alokasi dana pembangunan, hubungan keuangan Pusat-Daerah yang belum tertata dalam sistem yang rapi, menonjolnya pembangunan sektoral dan macam-macam mekanisme pembangunan yang masih kurang berorientasi kepada realita dan harapan regional di daerah, kesemuanya ini telah merupakan sebab musababnya mengapa pembangunan nasional berwajah sentralisme. Ibaratnya lengah akan adanya kenyataan daerah, baik tentang aspirasi daerah, potensi rakyat maupun sumber alam yang ada di sekitar rakyat. Hubungan feodalistis antara Pusat dan Daerah, ditambah dengan masih lemahnya Bappeda-Bappeda di satu pihak dan dominannya perencana Pusat di pihak Iain, mempertajam kesenjangan dalam perencanaan dan implementasi pembangunan.

Dari sentralisme pembangunan seperti itu, kemudian dihadapkan pada kenyataan-kenyataan Iokal yang ada, kalau tidak menumbuhkan keterpurukan, dapat pula sebaliknya mendorong cendekiawan daerah bersikap adatif-kreatif untuk melahirkan gagasan dan merancang aneka program aksi, yang mengangkat potensi rakyat ke permukaan. Itu kiranya yang terjadi. Perekonomian rakyat pelan-pelan muIai disentuh secara mendasar (grass-root) atas prakarsa pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh pemikir daerah untuk menumbuhkan kemandirian rakyat. Tentu hal seperti ini tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, tetapi juga di berbagai daerah lain. Sebagai Ketua Umum DEKOPIN yang harus ke pelosok-pelosok, saya menjadi lebih berkesempatan melihat bergeraknya kenyataan-kenyataan lokal semacam ini, mengamati munculnya tokoh-tokoh daerah mencari jalan keluar, dengan kreativitasnya sendiri-sendiri.

Itulah sebabnya Navis dan saya hadir pada tanggal 15 Juni 1989 di Kantor Gubernur Sumatera Barat untuk memberi dukungan kepada Dr. Sritua Arief sebagai manajer Koperasi Sungaipuar, yang mengadakan kerja sama dengan P.T. Jakolintex (pribumi) untuk mencoba memajukan perekonomian rakyat di Sumatera Barat. Meskipun mungkin kerja sama itu belum berhasil, namun yang perlu kita ingat adalah tumbuhnya secara lebih nyata merealisasi gerakan bawah-atas (bottom-up) yang diprakarsai oleh kaum cerdik-pandai sebagai koreksi terhadap model pembangunan yang di kala itu masih keliwat bergerak atas-bawah (top-down), tidak partisipatori, tidak emansipatori, masih berbau eksploitasi sebagai akibat masih berlakunya sistem ekonomi subordinatif, ada Tuan dan ada Hamba, ada Bapak-Angkat dan ada Anak-Angkat, dalam hubungan ekonomi penuh ketimpangan.

Kami berkesimpulan bahwa rakyat memang perlu memperoleh “pengalaman membangun”, berperan sebagai aktor pembangunan di tingkat grass-root. “Pengalaman membangun” adalah faktor produksi riil, “kesempatan berpengalaman” adalah hak demokrasi ekonomi rakyat untuk menumbuhkan kemampuan-kemampuan produktif rakyat secara nyata, yang akan memampukan rakyat membangun dalam posisi emansipatori, mandiri dan mampu melepaskan ketergantungan. Gerakan pembangunan atas-bawah memang tidak selalu salah, selama target daripadanya adalah menumbuhkan motivasi di tingkat bawah agar kuantitas dan kualitas partisipasi rakyat meningkat serta dimensi partisipasinya pun meluas.

Kalau saat ini program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dilancarkan Pemerintah, modal utama program ini haruslah manusia dan budayanya, yang perlu kita tempatkan sebagai pemicu, sekaligus sebagai kunci utama untuk membuat rakyat makin berpengalaman dalam membangun dirinya sendiri. Dengan demikian rakyat tidak hanya memperoleh “nilai-tambah ekonomi” yang lebih berkeadilan dan kemudian mampu pula menahan nilai-tambah ini bagi dirinya sendiri agar tidak selalu tersedot ke atas oleh sistem yang acapkali eksploitatif. Namun dengan peranannya sebagai partisipan aktif dan subyek terhormat pembangunan, tidak semata-mata sebagai obyek dan penonton pembangunan, maka di samping “nilai- tambah ekonomi”, rakyat akan memperoleh pula “nilai-tambah budaya”. Rakyat meraih emansipasi pembangunan, percaya dirinya akan lebih mantap, harga dirinya akan makin tangguh. Pendekatan pembangunan yang partisipatori dan emansipatori ,ini akan mengangkat harkat dan martabat rakyat, menumbuhkan self-respect. Pembangunan adalah untuk si manusianya, bukan demi pembangunan itu sendiri, apalagi demi kue pembangunan (GNP) yang rakyat tidak ikut menguasainya. Dalam artikulasi sernacam ini memang tidak saya kemukakan kepada Navis, tetapi demikian itulah semangat dan alam pikiran dari tukar-pikiran kami.

Lepas dari itu, ada pula yang belum sempat saya diskusikan dengan Navis perkembangan terakhir yang pasti menarik bagi orang- orang Minangkabau, yaitu tentang GBHN 1993 dan Repelita VI yang banting stir, memacu desentralisasi dan mendorong otonomi daerah, yang ternyata menuntut Daerah untuk mampu melakukan mental switch yang tidak ringan. Pertanyaannya kemudian adalah, siapkah Daerah, cukup berpengalamankah Daerah untuk memberi isi dan makna pada desentralisasi dan otonomi daerah?

Kedua, Navis dan saya sempat bertukar pikiran mengenai adanya semacam stigma politik yang menghinggapi dan terkadang menghantui masyarakat Minangkabau. Navis mengungkapkan hal ini kepada saya, betapa penguasa masih acapkali belum mampu melepaskan “kecurigaan” politik terhadap masyarakat Minangkabau dari dimensi sejarah di sekitar PRRI di masa lampau. Masyarakat Minang, sesuai dengan apa yang diungkapkan Navis, masih merasakan tekanan batin semacam ini. Saya sempat tertegun. Kalau ini benar, maka betapa kreativitas Minangkabau tertekan, betapapun samar bentuknya.

Tentu tidak sulit untuk membayangkan, apabila hal ini berkepanjangan, sentimen kedaerahan yang mestinya positif dan merupakan dinamika progresif bagi pembangunan nasional dapat berubah menjadi apatisme, ambivalensi, sikap mendua, split-personality, double-standardness dan semacamnya, yang tentu kesemuanya itu detrimental terhadap ketangguhan potensi sosio-kultural masyarakat Minangkabau yang memberi kebanggaan khusus bagi kita semua.

Stigma semacam itu ternyata riil. Lama sesudah itu ketika saya menjadi Anggota Badan Pekerja MPR untuk merumuskan GBHN 1993 bersama Prof. Emil Salim, semacam “kecurigaan” politik itu muncul lagi, meskipun dikemas dalam bentuk “kehati-hatian”. Untuk itu perlu diungkapkan di sini agak berpanjang lebar persepsi subyektif saya.

Tidak banyak yang sadar bahwa butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak berubah sejak GBHN 1973, kecuali 20 tahun kemudian, melalui GBHN 1993. Rumusan Demokrasi Ekonomi yang Ialu berasal dari TAP MPR No. XXIII/tahun 1966 (Pasal 6 dan 7), yang dikutip sepenuhnya sampai titik komanya ke dalam GBHN 1973, GBHN 1978, GBHN 1983 dan GBHN 1988.

Pada tahun 1988, saya menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dengan judul Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan Pembangunan Indonesia. Di situ saya tegaskan bahwa Pasal 18 UUD 1945 (mengenai Otonomi Daerah) harus menjadi butir pula dalam Demokrasi Ekonomi GBHN. Kemudian ketika Prof. Emil Salim menjadi Anggota Badan Pekerja MPR (demikian pula saya), baik di Forum FKP maupun Badan Pekerja MPR; saya ingatkan hal ini kepadanya. Akhirnya menjadi ketetapan hati kita, agar rumusan Demokrasi Ekonomi GBHN 1988 diubah, ditambah dengan satu butir lagi mengenai otonomi daerah sebagai hak demokrasi ekonomi rakyat. Tentu sebelum menjadi butir baru, perlu ada intro, sebagai alasan pembenaran (justification) bagi substansi dan dimensinya. Prof. Emil yang “ditugaskan” untuk bagian ini. Maka ia rumuskan substansi dan dimensi desentralisasi dan otonomi daerah. Rumusannya “ditolak” oleh beberapa Fraksi meskipun tidak secara formal dan terang-terangan. Saya sudah sangka sebelumnya, kalau Emil Salim yang menyuarakannya pasti akan ditanggapi secara Iain, warna kedaerahan yang tak ada padanya dapat tercuatkan, menggugah masa lampau. Persepsi subyektif saya: ia masih dianggap orang Minang betapapun ia nasionalis tulen tanpa patut diragukan. Memang menyedihkan. Maka muncullah masalah lama itu; dikaitkan dengan “Dewan Gajah”, “Dewan Banteng”, dewan ini dan dewan itu dan sebagainya dan sebagainya, artinya PRRI atau semacamnya.

Rumusan Emil Salim tidak keliru. Oleh karena itu Hans Kawulusan membela dan ikut membenarkannya. Persepsi subyektif saya: ia lupa bahwa ia orang Menado, maka makin teringat lagi soal Permesta, betapapun Kawulusan seorang nasionalis sejati pula. Ini semua adalah campuran antara kenyataan yang samar dan interpretasi saya kala itu.

Kemudian sayalah yang tampil dan merumuskan kembali. Sebagian saya serahkan rumusan itu langsung kepada Haryanto Danutirto, salah seorang “penguasa” Badan Pekerja. Sebenarnya ketika saya mérumuskan ulang, saya tidak mengubah substansi, saya orang Jawa yang terbebas dari syak wasangka kedaerahan. Mungkin saya dianggap tidak berakhlak kedaerahan, tidak provinsialistis. Ini lebih menyedihkan lagi. Ini semua terlanjur menjadi sikap batin, bukan kecurigaan politik, tetapi mungkin justru akhlak persatuan yang obsesif, yang berlebihan (meskipun Jawa sebenarnya juga salah satu daerah di Republik Indonesia ini.) Maka loloslah rumusan saya itu.

Orang boleh membuat interpretasi lain, atau menolak apa yang saya jelaskan di atas dengan alasan apa pun, namun sekali lagi hal itu adalah keterlibatan dan kesimpulan saya.

Ketiga, mengenai Alam Pikiran Yunani, buku mengenai filosofi karangan Bung Hatta, yang ditulis ketika Bung Hatta dalam “kesendirian” saat dibuang ke Boven Digul. Buku Alam Pikiran Yunani ini begitu berharganya bagi beliau, sehingga buku ini menjadi mas kawin buat gadis pilihannya, Siti Rahmiati Rachim.

Navis bertanya kepada saya, dengan rada heran, mengapa seorang Hatta yang Minangkabau menulis buku mengenai Alam Pikiran Yunani, buku tentang filosofi, berpikir merdeka, intelektualisme dan rasionalisme. Navis sempat pula berkomentar, Bung Hatta yang masih muda usia menulis buku sehebat itu.

Navis adalah orang kedua yang secara eksplisit dan langsung saya dengar sendiri memuji buku Alam Pikiran Yunani setelah Almarhum Prof. Padmo Wahjono. Sebagai Promotor dalam pemberian gelar Doktor Honaris Causa dari Universitas Indonesia dalam Ilmu Hukum Tatanegara kepada Bung Hatta, Padmo Wahjono mengatakan kepada saya, kenegaraan Bung Hatta diawali dengan ketenarannya sebagai seorang tokoh intelegensia. Salah satu tonggak awalnya adalah Alam Pikiran Yunani yang beliau tulis itu.

Titik-tolak Navis adalah, sebagai orang Minang cukup mengherankan bahwa Bung Hatta menjadi penganjur berpikir merdeka dan rasionalisme, mengajarkan intelektualisme dalam pencarian kebenaran sejati, untuk mendirikan “suatu kerajaan pikiran”. Padahal masyarakat Minang adalah masyarakat adat-istiadat yang ketat, tidak terlepas dari mitos dan mitologi. Hatta menggapai langit sebagai lawan dari alam pikiran sang katak dalam tempurung. Adakah kekhususan pada diri Hatta sehingga ia mampu memandang dunia dari luar, tidak dari dalam yang penuh kungkungan?

Saya tidak bisa segera menjawab pertanyaan Navis. Ketika saya membaca lagi Alam Pikiran Yunani, saya hanya memperoleh jawaban sederhana bagi Navis. Mohammad Hatta kiranya memang memiliki bakat istimewa, ia mampu melihat keganjilan di sekitarnya. Kata Buya Hamka kepada saya, bakat seperti diterima Hatta diturunkan oleh Tuhan belum tentu 100 tahun sekali. Dengan mengutamakan daya pikir, intelektualisme, dan rasionalisme ia mencari kebenaran. Dengan kebenaran itu ia membetulkan keganjilan-keganjilan. Tuhan memberikan bakat itu kepada Hatta, kemudian lingkungan di mana ia dibesarkan, pendidikan agama dari kakeknya, pendidikan Barat di Negeri Belanda, menjadi mendukung pengembangan bakatnya itu. Kemampuan melihat keganjilan di sekitarnya itulah yang menjadi modal awal dari kecendekiawanannya.

Menurut pendapat saya, tidak benar jika ada orang mendefinisikan cendekiawan sebagai “orang yang mampu membaca, termasuk membaca lingkungan”. Cendekiawan perlu pula mampu memahami yang ia baca, menganalisanya, mengambil kesimpulan dan menggelar aksi dan reaksi secara tepat berdasar nalar dan kebenaran sejati. Itulah sebabnya filosofi adalah dasar bagi seseorang menjadi cendekiawan. Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran, kemudian filosofi berguna penerangan pikiran dan penetapan hati. Ini semua diterangkan oleh Alam Pikiran Yunani.

Alam Pikiran Yunani diawali dari pandangan filsof Thales (abad ke-6 sebelum Masehi) yang mencoba memerdekakan akal dari belenggu tahyul dan dongeng, dan diakhiri dengan filsof Platinos (abad ke-3 sesudah Masehi) yang tidak lagi berpegang pada intelektualisme dan rasionalitas, sebaliknya mengacu kepada pandangan mistik. Maka berakhirlah alam pikiran Yunani oleh hadirnya Platinos.

Keempat, saya pernah bicara dengan Navis soal Hatta, H. Agus Salim, Sjahrir, bahkan sampai Emil Salim, yang bagi kami adalah sebagian dari de beste zonen van het land. Di bawah ini juga tentang putra-putra terbaik Indonesia, yang saya tulis di harian Pelita, yang akan saya angkat lagi di sini sebagai hadiah ulang tahun ke-70 Abang Navis. Demikian ini tulisan saya:

“Tentu membanggakan sekali bahwa salah satu putera terbaik Indonesia, atau menurut istilah Ibu saya een van de beste zonen van het land, mendapat penghargaan terhormat di luar negeri. Itulah Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas RI, yang pada tanggal 18 Juni 1994 yang lalu mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Northeastern University Boston, USA. Tahun lalu universitas ini memberikan gelar Doctor HC kepada Presiden Clinton. Untuk itu tentu Dr.lr. Ginandjar Kartasasmita telah ikut pula mengangkat nama baik bangsa Indonesia.”

“Pada acara wisuda Northeastern University itu, 3.500 sarjana baru yang diwisuda dalam 2 tahap, pagi dan sore. Pada saat itulah Ginandjar Kartasasmita bersama dengan orang tokoh terkemuka Amerika Serikat yang berprestasi sangat tinggi mendapat anugerah penghargaan Doctor HC.

Lengkapnya Doctor HC itu diberikan kepada Reggie Lewis (Doctor of Humanities), Ginandjar Kartasasmita (Doctor of Public Service), Dr. Mitchell Rabkin (Doctor of Science), Alan Tobin (Doctor of Laws) dan Dr. Clifton Wharton, Jr (Doctor of Humane Letters).”

“Gelar Doctor HC kepada Ginandjar diberikan berdasarkan alasan, bahwa ia seorang yang beridealisme tinggi, memiliki kepandaian, ketekunan, kesungguhan serta perhatian mendalam terhadap kemakmuran bangsanya. la juga memiliki komitmen kuat terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, stabilitas dan pemerataan pembangunan.”

“Acara wisuda itu sangat meriah. Karena besarnya jumlah wisudawan, acara akademis itu diadakan di stadion tertutup Celtic di tengah kota Boston. Acara itu diawali dengan doa wisuda, lagu kebangsaan, orasi wakil wisudawan dan orasi alumni. Musik-musik klasik Baroque yang menyelingi acara wisuda itu menambah semaraknya suasana. Namun berbeda dengan apa yang kita saksikan di Indonesia, di UI misalnya, di Boston tidak terdengar Academic Overture dari Johannes Brahms, Godeamus Igitur, dinyanyikan. Yang ada malah Eine Kleine Nachtmusik-nya Mozart, dimainkan di siang bolong. Simbol-simbol akademis, toga aneka warna yang mencerminkan asal-usul almamater para guru besarnya, gebyar-gebyarnya bendera masing-masing fakultas, serta aneka warna spanduk dengan berbagai slogan, kesemuanya ini memberi kesan mendalam akan kebesaran dan keagungan akademis. Kemeriahan terasa lebih menonjol dibanding dengan tradisi wisuda di Eropa ataupun di Indonesia yang lebih mengutamakan suasana khusyuk, solumn dan sakral.”

“Ketika saya menyaksikan upacara wisuda yang sangat mengesankan di Northeastern University Boston itu, terkenang kembali oleh saya peristiwa 25 tahun yang Ialu ketika saya memperoleh PhD dan diwisuda di University of Pittsburgh, di kota Pittsburgh, Pennsylvania. Acara wisuda kala itu juga sangat meriah, namun karena saya sebagai wisudawan terlibat langsung dengan acara itu, saya terbenam dalam keharuan. Meskipun tidak ada pula Godeamus Igitur, tetapi musik-musik ciptaan Bach, Handel, Purcell dan Couperin membuat perasaan batin saya menjadi khusyuk sekhusyuk-khusyuknya. Saya sempat melayangkan pikiran saya ke Tanah Air, melamun betapa bahagianya apabila orangtua saya menyaksikan wisuda saya ini. Saya bisa membayangkan betapa bahagianya Ibunda Ginandjar, Ibu Ratjih Natawidjaja, yang hadir dan secara langsung menyaksikan puteranya mendapat penghargaan dari Northeastern University dengan alasan seperti disebutkan di atas. Tentu Ny. Ginandjar Kartasasmita merasakan kebahagiaan yang sama.”

“Sambil mengikuti acara wisuda di Northeastern University itu, terketuk pula saya dan bertanya dalam hati, mengapa orang luar negeri lebih mampu menghormati tokoh berprestasi Indonesia. Ginandjar adalah salah satunya dan Soedjatmoko (yang pernah menjabat sebagai Penasehat Ketua Bappenas di zaman Widjojo Nitisastro) adalah salah satu lainnya. Bahkan Soedjatmoko telah beberapa kali mendapat gelar Doctor HC dari universitas-universitas di Amerika Serikat dan negeri Iain.”

“Lebih lanjut daripada itu, di tengah-tengah kemeriahan acara wisuda di Boston itu saya bertanya dalam hati, mengapa universitas saya tercinta, Universitas Indonesia, pelit benar dalam menghargai prestasi orang. Bahkan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia terang-terangan menganggap kurang tepat (berkeberatan) memberikan gelar Doctor HC kepada Bung Hatta. Ketika Rektor Mahar Mardjono menganggap sepatutnya Bung Hatta mendapat gelar HC di bidang ekonomi, Dekan Fakultas Ekonomi pada waktu itu mengatakan kepada saya (selaku Pembantu Rektor III yang membawa pesan dari Rektor) bahwa teori ekonomi Bung Hatta telah ketinggalan zaman, jadi tidak pas untuk menerima Doctor HC. Fakultas Ekonomi UI mengusulkan Pak Harto untuk menerima gelar Doctor HC, tetapi Pak Harto menolak, beliau merasa belum waktunya, nanti saja kalau Pelita II telah selesai.” (Hingga kini di masa. Pelita VI, Pak Harto belum ditawari lagi gelar Doctor HC dari UI.)

“Sikap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sempat mengagetkan Rektor. Dekan Fakultas Hukum, Padmo Wahjono, yang mendengar peristiwa mengagetkan itu tampil, mengambil oper tugas mulia. Akhirnya Bung Hatta pada saat itu (1973) mendapat anugerah gelar Doctor HC dalam Ilmu Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UI, Padmo Wahjono bertindak sebagai promotornya.”

“Kesalahpahaman kiranya masih berlanjut hingga saat ini. Berkaitan dengan Bung Hatta itu, para ekonom kita banyak yang kurang mampu membedakan antara sistem ekonomi dengan teori ekonomi, antara relevansi teori ekonomi Barat yang mereka kagumi dengan cita-cita mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Mereka juga kurang mampu membedakan antara demokrasi Barat yang berdasarkan individualisme dengan demokrasi Indonesia yang berdasarkan “kolektivisme” (yaitu asas kebersamaan dan kekeluargaan) di dalam konteks demokrasi ekonomi. Itulah sebabnya kebanyakan dari mereka meragukan dan kemudian menyalahartikan Demokrasi Ekonomi sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Dan mereka belum pula sadar bahwa teori ekonomi mereka yang mereka anggap mutahir dan modern, telah menimbulkan persoalan-persoalan baru yang gawat, menumbuhkan kesenjangan sosial-ekonomi yang parah, yang membuat ekonomi kita saat ini terperosok ke dalam debt-trap, dan menumbuhkan daya dorong ke arah divergensi dari titik-tolak UUD 1945.”

“Bahkan ada yang cukup lantang, sekaligus coquettish, menolak Demokrasi Ekonomi, dan mengatakan bahwa di Barat toh tidak ada istilah Demokrasi Ekonomi. Mereka memilih keterlibatan secara dangkal-dangkal saja, lantas tidak mampu melihat kenyataan di Barat. Meskipun istilah demokrasi ekonomi tidak mudah didapati di Barat, tetapi akhlak demokrasi ekonomi terpelihara rapi di sana. Di Amerika Serikat public interest dijunjung tinggi, sejak lama sudah diberlakukan small bussiness act dan anti trust law.”

“Kerdilkah dunia pendidikan tinggi Indonesia, atau keIiwat canggihkah mutunya, sehingga tidak bisa menemukan calon penerima gelar Doctor HC kepada anak negeri sendiri, de beste zonen van het land. Tidak mampukah FISIP UI memberikan gelar Doctor HC kepada Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Mr. Ali Sastroamidjojo, Roeslan Abdulgani, Mr. Soenario, Soebadio Sastrosatomo, BM Diah, dan juga kepada para almarhum seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Mr. Wilopo, Mr. Soedjarwo Tjondronegoro, Soedjatmoko di kala mereka masih hidup? Demikian pula mengapa Fakultas Sastra UI tidak mampu memberikan Doctor HC kepada Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Astuti Hendrato, Mastini dan Rendra (kalau tidak salah terakhir kali 20 tahun lalu Fakultas Sastra UI memberikan Doctor HC kepada H.B. Jassin). Mengapa pula Fakultas Teknik UI tidak mampu memberikan Doctor HC kepada Rooseno, Tjokorda Raka Sukawati dan kepada almarhum Sutami dan almarhum Sediatmo dan seterusnya dan seterusnya tatkala mereka masih hidup? Itukah sebabnya mengapa banyak orang saat ini “membeli” gelar Doctor HC dari lembaga pendidikan yang tak jelas, ataukah lembaga-lembaga pendidikan luar negeri antah berantah itu tahu kelemahan para social climbers Indonesia?”

“Kalau Ginandjar Kartasasmita, demikian pula Soedjatmoko dan cukup banyak Iainnya lagi, mendapat gelar Doctor HC dari universitas kesohor luar negeri, sebenarnya kehormatan itu adalah bagi bangsa Indonesia.”

Demikianlah tulisan saya di Pelita tanggal 29 Juni 1994. Dan A.A. Navis termasuk dalam deretan yang dan seterusnya dan seterusnya itu. la berhak mendapat gelar doctor H.C. dari pendidikan tinggi kita yang sadar harga diri bangsa, yang tidak mudah termakan kekaguman pada yang serba Barat, pada tokoh-tokoh ataupun ilmu pengetahuan Barat.

***

SELAMAT Ulang Tahun, semoga Abang Navis kita senantiasa sehat wal’afiat! Sampai ketemu di Padang atau Bukittinggi lagi.

000