KASUS ROBOHNYA SURAU KITA
Oleh: A.A. Navis
(Dimuat dalam Harian Singgalang, Jumat 28 Oktober 1983)
PELAKSANAAN eksekusi pengadilan seperti yang terjadi di Sungai Sarik, sehingga 13 rumah dan sebuah surau harus dirobohkan oleh peralatan peradilan, merupakan peristiwa hukum yang tak dapat diganggu gugat, karena telah didikuatkan oleh Mahkamah Agung. Masalah yang memprihatinkan di kalangan umum, kenapa sebuah surau mengalami nasib demikian. Tapi juga harus diprihatinkan, kenapa rumah penduduk yang telah dengan susah payah membangunnya, lantas harus dirobohkan pula. Sehingga sukar dapat dibayangkan bagaimana dan dalam berapa masa lagi mereka dapat kembali membangun rumah. Tetapi hukum tentu saja tidak dapat melihatnya demikian meski kita yakin aparat hukum pun ikut prihatin.
Kalau berdasar hukum, kita tidak dapat membicarakannya lagi. Barangkali kita bisa membicarakannya dari segi moralnya. Umpamanya, bagaimana moral masyarakat orang kaya di nagari Minangkabau yang memiliki 30 hektar tanah, bisa tega menyuruh runtuhkan rumah kediaman orang kampungnya sendiri. Padahal ia bisa menyewakan atau menjual beberapa potong tanahnya untuk kesejahteraan orang lain. Terkecuali kalau 30 ha tanah itu harus utuh karena di atasnya akan didirikan pabrik besar. Tanah pemerintah di Sumatera Barat yang dihuni secara liar pun tidak pernah dikosongkan secara paksa dengan meruntuhkan bangunannya. Masih ada suatu kebijaksanaan berdasarkan moral yang diwarisi secara tradisional.
Mungkin saja pada mulanya pemilik tanah telah berusaha secara bijaksana. Akan tetapi penghuni liar itu tidak peduli. Mungkin jadi pemilik tanah telah menyampaikan keluhannya lebih dulu kepada instansi pemerintahan daerah, sepertiĀ Wali Nagari atau Camat. Tapi karena tidak dapat ditangani dengan baik, akhirnya jalan yang di tempuh menyelesaikannya ke pengadilan. Sedangkan pihak pengadilan sendiri, sesungguhnya akan lebih suka apabila sengketa antara orang sekampung itu diselesaikan saja menurut cara berdunsanak. Maka di sini terlihat betapa rapuh dan tidak berwibawanya kepemimpinan dalam masyarakat kita, sehingga tidak ada warga mayarakat yang bersedia menerima penyelesaian melalui musyawarah yang diprakarsai peralatan pemerintah di Nagari itu.
Kasus ini berawal sudah begitu lama, yakni di saat-saat keadaan masih kalut setelah peristiwa G.30.S. Sedang posisi peralatan pe merintah sedang labil. Namun petugas yang datang kemudian, sudah seharusnya mampu menyelesaikan bahkan mencegahnya penambahan jumlah rumah di atas tanah sengketa itu. Andai kata petugas pemerintah alpa atau tidak mengetahui masalahnya, maka pemuka masyarakat dan ninik mamak “nan gedang besar bertuah” berkewajiban memberi informasi, agar anak kemenakannya tidak sampai teraniaya.
Tulisan ini bukan untuk mengumpati siapapun, tapi ingin memperlihatkan betapa rapuhnya struktur dalam kepemimpinan masyarakat kita. Betapa tidak berfungsinya “tungku nan tigo sajarangan” di masyarakat kita. Sehingga masyarakat yang sampai saat ini masih membanggakan “adat yang bersandi syarak” dengan pedoman hidup “alur dan patut” seperti hanya bunyi, bukan suatu pandangan hidup. Hal ini ada kaitannya dengan, pada saat pemerintah berusaha keras membangun rumah projek rakyat dengan Perumnasnya, di samping itu kini ada 13 rumah yang diruntuhkan atas permintaan orang kaya yang memiliki tanah 30 HA. Dan pemimpin masyarakat tidak mampu atau tidak mau mencoba sekuat tenaga mencari penyelesaian. Lalu kita ingin bertanya: di mana letak adat, dan ajaran agama, dan dimana letak moral yang berdasarkan “alur dan patut” itu?
Bahwa sebuah surau sampai diruntuhkan dan lembaran Quran sampai berserakan oleh pelaksanaan eksekusi itu, itu adalah merupakan suatu konsekuensi atau resiko dari masyarakat adat Minangkabau yang tengah beralih menjadi masyarakat individual, akibat dari sistem kepemimpinan dalam masyarakat yang juga sudah berobah. Kasus seperti yang dialami penduduk seperti di Sungai Sarik akan terus terjadi dan mungkin akan banyak terjadi, apabila sikap kepemimpinan dalam masyarakat terus digoyahkan oleh situasi dan kondisi yang berjalan dengan cepatnya.
Oleh karena itu, perlulah kita himbau LKAAM, MDI dan juga MUI Sumatera Barat untuk mencari jalan bagaimana masyarakat tidak lagi bersengketa sehingga membuahkan situasi yang tragis seperti di Sungai Sarik, dan bagaimana para ulama tidak mendirikan suraunya di tanah orang lain tanpa izin. Karena kita diajari bahwa setiap ibadah dimulai dengan niat, dan niat itu haruslah yang baik, agar ibadah menjadi pahala. Karena, bagaimana pun kita tahu, bahwa kita tidak boleh melarang orang sembahyang, namun kalau akan sembahyang di rumah atau di atas milik orang, kita disuruh untuk meminta izin lebih dahulu.
Kasus di Sungai Sarik sudah selesai menurut hukum. Akan tetapi belum selesai menurut ajaran moral apabila kasus tersebut akan terjadi pula berulang kali di tempat lain.
000
Leave A Comment