KABA: CERITA RAKYAT MINANGKABAU

Oleh: A.A. Navis

(Makalah pada “Seminar Kesusastraan Indonesia-Malaysia” di University Malaysia, Kuala Lumpur 1-3 September 1979. Dimuat Dalam Buku “Yang Berjalan Sepanjang Jalan”, Grasindo, 1999)

DALAM sejarah sastra dapat dilihat peristiwa saling pengaruh antara bangsa-bangsa yang berhubungan akrab. Namun sejarah pun memperlihatkan bahwa bangsa yang berkebudayaan lebih tinggi akan lebih dominan pengaruhnya, bahkan bangsa yang lebih lemah kebudayaannya secara lambat laun akan kehilangan identitasnya. Saling pengaruh-mempengaruhi antara bangsa-bangsa yang sama tinggi kebudayaannya akan memperkaya kebudayaan kedua belah pihak. Ketinggian kebudayaan Islam, Persia dan Hindu telah menguasai kebudayaan bangsa-bangsa Asia Tenggara sejak berabad-abad yang silam. Akan tetapi pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa tersebut tidaklah sampai melenyapkan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu, oleh karena mereka mempunyai watak yang liat.

Misalnya Minangkabau yang merupakan salah satu dari bangsa yang tidak kehilangan identitas oleh pengaruh “luar” itu. Misalnya sistem matrilini sampai sekarang masih berdiri. Demikian pula halnya dengan satranya. Bangsa yang tidak mengenal aksara itu tidak memiliki kisah atau epos sejarah sebagaimana bangsa-bangsa tetangganya. Oleh pengaruh cerita hikayat yang mengasyikan itu akhirnya Minangkabau memiliki susastra yang mereka namakan kaba.

Tulisan ini merupakan informasi dari suatu produk kebudayaan “luar” yang mempengaruhi suatu bangsa, tapi akhirnya memunculkan identitas sendiri berkat kemampuan adaptasinya. Sehingga kaba menjadi bersih dari pengaruh hikayat yang semula menjadi sumbernya.

Struktur Bahasa.

Sebagai cerita rakyat, kaba menempati kedudukan yang tinggi dari pada dongeng dan hikayat. Perbedaan antara kaba dengan yang lainnya ialah dalam bentuk bahasanya. Bahasa dongeng dikatagorikan sebagai prosa. Hikayat lazimnya disampaikan dengan syair, adakalanya dengan gaya lirik. Bentuk bahasanya ialah prosa lirik dengan susunan kata yang ritmis dan diselang-seling oleh pantun, sehingga enak diucapkan, didendangkan dan didengarkan.

Bentuk kalimat kaba panjang-panjang, dengan menggunakan banyak anak kalimat yang terdiri dari empat kata. Adakalanya tiga kata. Tergantung pada fungsinya. Untuk memenuhi ritme sering kali kalimat disisipi dengan kata sandang seperti, bak, dek, kan,kok, lah, malah, nan atau lainnya kata bantu. Lazim pula berbagai kata diucapkan secara berulang atau kata berulang yang susunannya terbalik. Umpamanya kata berulang bajalan-jalan menjadi jalan bajalan, mengati-ngati menjadi kati-mengati, bapilin-pilin menjadi pilin-bapilin, bakaik-kaik menjadi kaik bakaik. Contohnya sebagai berikut :

“Mulonyo kato nan ka dikatokan, asanyo kaji nan ka disabuik, ada kapado suatu malam, hari nan tarang-tarang lareh, patang kamih malam jumaik, dalam nagari Tanjung Balik. Malam nan samalam nantun, sadang rinyai-rinyai kaciak, kiro-kiro pukua salapan, urang nan lah sambayang Isya, jalan bajalan sagalo dubalang, sarato manti jo punggawa…”

Bentuk kalimat yang memakai tiga kata, biasanya mengandung rasa tegang, seperti contoh berikut ini:

“Bagak bana Rajo nan Kongkong, nak basutan dimatonyo, nak barajo di hatinyo, Inyo kacak langan, alah bak langan. Inyo kacak batih, alah bak batih. Denai tulak pintonyo, inyo berang mamburangsang. Inyo ajak denai, nak bamain padang. Musuah indak dicari, basuo pantang diilakkan…”

Komposisi penceritaan kaba telah terbentuk dalam acuan tetap. Dimulai dengan pantun dan ditutup dengan pantun pula. Dialog yang diucapkan oleh para pelaku lazim pula dengan cara berpantun-pantunan. Sehingga pantun menjadi sangat dominan. Bahkan sampai seperempat bahagian cerita berisi pantun. Salah satu pantun pembuka yang umumnya digunakan ialah seperti berikut :

“Kaik bakaik rotan sago,

sago takaik di aka baha.

Dari langik tabarito,

tibo di bumi jadi kaba. ”

(Kait berkait rotan saga,

saga terkait di akar bahar.

Dari langir terberita,

sampai di bumi jadi kabar).

Pantun penutup yang digunakan ialah sebagai berikut :

“Banda urang denai bandakan,

padi di halaman nan tabao;

Kaba urang denai kabakan,

kok duto denai indak sato. ”

(Bendar orang saya bendarka,

padi di halaman yang terbawa;

Kabar orang saya kabarkan,

kalau dusta saya tak serta).

Penggunaan kalimat-kalimat untuk menceritakan perpindahan adegan atau memulai suatu adegan dan menutupnya, menceritakan keadaan waktu dan suasana, pelukisan bentuk dan sifat orang, penyampaian suatu dialog dan sebagainya juga mempunyai acuan tetap. Contohnya sebagai berikut:

Pembukaan suatu adegan:

“Kini kaba baraliah hanyo lai, sungguah baraliah disanan juo…..” (Kini kaba beralih lagi, meski beralih di sana jua…..)

Penutup suatu adegan :

“Baitu kaba dikabakan, kito nan utang mangabakan.” (Begitulah kaba dikabarkan, kita yang hutang menyampaikan)

Penceritaan waktu

“Dek lamo bakalamoan, salamo lambek nan bak kian, alah sarantang duo pajalanan, cukuik katigo rantang panjang, mako tibolah kaba baritonyo…” (Berkat lama kelamaan, setelah demikian lamanya, setelah serentang dua perjalanan, cukup ketiga rentang panjang, maka tibalah kabar beritanya… )

Penceritaan suasana:

“Hari nan sadang tangah hari, sadang manggalagak matoari, sandang bunta bayang-bayang, sadang langang urang di kampuang, sadang rami urang di balai…” (Hari yang sedang tengah hari, sedang menggelegak mata hari, sedang buntal bayang-bayang, sedang lengang orang di kampung, sedang ramai orang di balai…)

Penceritaan rupa orang pun punya acuannya. Sehingga dua orang perempuan yang dimadu seperti Siti Jamilah dan Siti Rawani dalam kaba “Siti Jamilah dengan Tuanku Lareh Simawang” dikisahkan seperti seperti mirip wajahnya. Wajah Siti Jamilah dilukiskan seperti berikut :

“Kononlah Siti Jamilah, lorong kapado tubuahnyo, indak ado kan bandiangnyo, mukonyo bulek panuah barisi, bak bulan ampek baleh hari, talingonyo jarek tatahan, kaniangnyo kiliran taji, pipinyo pauah dilayang, alihnyo samuik baririang, daguaknyo labah bagantuang…”

(Kononlah Siti Jamilah, tentang keadaan tubuhnya tidak akan ada bandingannya, wajahnya bulat penuh berisi, bagai bulan empat belas hari, telinganya jerat tertahan, keningnya kiliran taji, pipinya pauah dilayang, alisnya semut beriring, dagunya lebah bergantung…)

Wajah Siti Rawani dilukiskan sebagai berukut:

Kan bana Siti Rawani, rancak nan bukan alang kapalang, mukonyo nan bak bulan panuah, pipinyo nan bak pauh dilayang, bulu matonyo bak samuik baririang, tumiknyo bak talua buruang, daguaknyo labah bagantuang, kaniangnyo kiliran taji….”

(Kan benar Siti Rawani, cantik yang bukan alang kepalang, wajahnya bagai bulan penuh, pipinya bagai pauh dilayang, bulu matanya bagai semut beriring, tumitnya bagai telur burung, dagunya lebah bergantung, keningnya kiliran taji….)

Selain komposisi penceritaan, ciri kaba yang paling khas ialah banyak menggunakan peribahasa seperti pituah, kiasan, pameo, pepatah dan petitih, yaitu bentuk sastera yang paling baku dalam kesusasteraan Minangkabau.

Struktur Cerita.

Berbeda dengan acuan penceritaan yang serba tetap itu, maka struktur dan isi cerita kaba kelihatannya dapat berubah-ubah dalam sejarah kehadirannya. Artinya kaba dapat menyerap dan menyadur cerita asing. Umpamanya “Hikayat Malin Deman” menjadi “Kaba Malin Deman“, “Hikayat Anggun Cik Tunggal” menjadi “Kaba Anggun Nan Tungga Magek Jabang“. Atau seperti “Hikayat Murai Batu“, “Hikayat Raja Tuktung“, “Hikayat Umbut Muda“. Dari kisah pelipur lara antaranya ialah “Sabai Nan Aluih“, “Talipuak Layua, “Gadih Ranti“. Bahkan kisah “Tambo Pagaruyung” pun dapat dijadikan kaba menjadi “Kaba Cindua Mato“.

Peristiwa sensasional yang berlaku pun dapat diangkat menjadi kaba, seperti “Kaba Si Udin Anak rang Palembayan“, “Kaba SI Joki jo si Beram“, “Kaba Tuanku Lareh Simawang” dan sebagainya. Setelah mesin cetak huruf Arab dimiliki oleh pengusaha Minangkabau, maka pertumbuhan cerita kaba kian subur. Kaba tidak hanya disampaikan oleh tukang kaba, tapi juga telah dapat dibaca secara luas, baik yang menggunakan huruf Arab ataupun huruf Latin. Dan arus pertumbuhan cerita lebih menjamur lagi dikala randai sebagai teater rakyat sedang musim-musimnya. Maka pada masa itu populer sekali “Kaba Si Marantang“, “Kaba Angku Kapalo Sitalang“, “Kaba Siti Rabiatun” dan lain-lainnya. Banyak cerita randai itu kemudian diterbitkan.

Jika ditinjau pada sumber-sumber cerita yang di angkat sebagai kaba, sepanjang yang pernah dikumpulkan oleh kolektor Belanda sejak awal kekuasaannya pada abad ke-19, menunjukan bahwa kaba bermula dan lebih banyak beredar 6 di wilayah “pesisir barat” Minangkabau, yang dikuasai oleh raja muda atau raja kecil. Wilayah tersebut lebih cepat bersentuhan dengan berbagai kebudayaan asing, yang dominan ialah Aceh, disamping memperkenalkan syair-syair.

Oleh karena bentuk penceritaan rakyat demikian dekat dengan hasil susastra Minangkabau, menyebabkan kisah-kisah asing itu diterima lalu diolah menjadi kaba. Bila melihat wilayah peredaran kaba “pesisir barat” itu dan sumber-sumber yang mempengaruhinya, dapat dipahami banyaknya cerita kaba yang mengisahkan raja-raja atau cerita yang menyimpang dari sistem sosial Minangkabau sendiri. Terutama pula penamaan atas cerita tersebut sebagai kaba, maka ceritanya betul-betul merupakan pelipur lara.

Sebagai pelipur lara, struktur dan isi ceritanya dapat bebas diceritakan oleh si pencerita menurut sukanya. Umpamanya mengisahkan percintaan antara manusia dan dewi kayangan seperti “Kaba Malin Deman“, anak miskin yang jadi petualang mencari ayahnya “Kaba Anggun Nan Tungga“, dengan lidi bertuah seorang pemuda menghidupkan kembali gadis yang telah meninggal dalam “Kaba Umbuik Mudo“, seorang istri yang termakan sumpah, sehingga melahirkan seekor tupai seperti dalam “Kaba Tupai Janjang“.

Dalam kepustakaan, kaba yang paling tua yang telah ditulis dengan huruf Arab ternyata “Kaba Malin Deman” aslinya dari Aceh dan bersumber dari hikayat Persia. “Kaba Gondang Sari Dewa“, “Kaba Bujang Tabuang“, “Rajo Tuktung” bersumber dari Barus. Yang berasal dari Semenanjung Tanah Melayu ialah “Kaba Anggun Nan Tungga“, “Kaba Tuanku Alam Bentan“.

Sedangkan cerita pelipur lara seperti “Kaba si Gadih Ranti”, “Kaba Mayang Taurai”, “Kaba Sabai Nan Aluih”, “Kaba Tupai Janjang”, “Kaba Si Gadih Basanai” dan lainnya sangat populer. Meski tidak diketahui sumber aslinya, banyak diantara ceritanya menyimpang dari sistem sosial Minangkabau. Umpamanya “Gadih Ranti” setelah kena fitnah, diusir oleh ayahnya dari rumah bahkan dari kampung halamannya. Adalah aneh sekali, ayah yang berstatus urang sumando di rumah anak istrinya sampai berhak mengusir anaknya. “Sabai Nan Aluih” dipinang orang kepada ayahnya dan karena ayahnya menolak, lalu si ayah dibunuh. Padahal menurut sistem sosial Minangkabau, pinangan dilakukan kepada sanak keluarga pihak perempuan dan kalau pun ada laki-laki yang menginginkan seorang gadis, peminangan disampaikan kepada mamaknya. Karena itu adalah aneh jadinya bila si ayah yang dibunuh karena dia menolak pinangan, padahal dia tidak berhak menentukan. Dalam “Kaba Gadih Basanai” sepasang remaja yang mati berulam jantung dikuburkan berdekatan. Padahal menurut sistem sosial Minangkabau, pasangan yang halal kawin ialah orang yang berbeda suku. Setiap suku mempunyai pandam pusara sendiri untuk menguburkan warganya masing-masing. Maka adalah aneh jadinya seorang dikuburkan di pandam pusara suku lain. Meski bersuami-istri tidak akan dikuburkan berdekatan, apalagi bagi orang yang masih bertunangan.

Sebagai pelipur lara, tentu saja kaba yang bermula dari “pesisir” menjalar ke “darek” daerah pegunungan yang jadi pusat Minangkabau, karena dibawa oleh tukang kaba. Sampai di “darek” kaba menyempurna menjadi lebih berciri Minangkabau sehingga figur mamak diberi peranan meski pun sangat kecil umpamanya dalam “Kaba Gadih Ranti” mamak dimunculkan untuk sekedar menyetujui kehendak ayah Gadih Ranti yang hendak mengusir anaknya. Dalam “Kaba Manjau Hari” mamak dimunculkan sebagai alasan penyebab kemiskinan karena menggadaikan harta pusaka meski bukan merupakan pokok cerita. Dalam mengisahkan ajaran agama Islam setidak-tidaknya pelaku diceritakan disuruh pergi mengaji, seperti dalam “Kaba Si Jombang“, “Kaba Umbuik Mudo“, “Kaba Gadih Ranti” dan lain-lainnya. Peribahasa Minangkabau sebagai ajaran moral dan etika mendapat tempat yang dominan pada hampir seluruh cerita kaba.

Setelah pengenalan mesin cetak, cerita kaba umumnya ditulis oleh penulis dari “darek”. Maka struktur dan isi cerita sudah betul-betul Minangkabau. Ceritanya tidak lagi tentang kisah Sehibul Hikayat, tentang raja-raja atau dewa-dewa atau kisah-kisah pelipur lara yang sentimental. Kisah kaba telah melukiskan manusia Minangkabau yang real dengan segala tingkah lakunya yang baik dan buruk menurut pola pemikiran tradisional yang berlaku atau pun yang sedang berubah. Bahkan beberapa kaba dinyatakan sebagai cerita yang benar-benar terjadi seperti “Kaba Si Bujang Piaman“, “Kaba Siti Marayam“, “Kaba Tuanku Lareh Simawang“, “Kaba Siti Syamsiah” “Kaba Si Sabariah” dan lain-lain.

Kaba melukiskan sepotong realitasi yang diinterpertasi menurut kecendrungan subjektif pengarang atau menurut imajinasinya berdasarkan realiti dari satu atau banyak peristiwa yang dirasakan menarik untuk diceritakan. Umpamanya, “Kaba Tuanku Lareh Simawang” yang mengisahkan seorang kuli perusahaan kereta api, lalu diangkat oleh pemerintah selaku Kepala Lareh di nagari Simawang, di tepi danau Singkarak. Untuk menyesuaikan gaya hidup dengan statusnya yang baru, dia ingin menikah lagi dengan seorang gadis Minangkabau. Istri pertamanya yang dinikahinya semasa jadi kuli seorang perempuan Jawa, merasa sangat tersinggung perasaannya oleh penghinaan rasial yang dilontarkan suaminya ketika terjadi pertengkaran. Ketika Tuanku Lareh dijemput orang untuk pergi menikah, Jamilah bunuh diri setelah membunuh kedua anaknya sendiri. Kisah lainya ialah “Kaba Si Udin Anak Rang Palembayan” yang mengisahkan seorang perjaka yang lagi bertunangan mati dihukum gantung karena menyamun dan membunuh seorang pedagang keliling. Adakalanya kisah merupakan karikatur dari tingkah laku seseorang. Seperti “Kaba Rancak Di Labuah” yang melukiskan perjaka pesolek yang tak tahu diri, atau cerita “Kaba Amai Cilako” yang mengisahkan seorang ibu yang senang kawin cerai sampai tujuh kali dan mempunyai tiga anak dengan bapak yang berbeda.

Tema cerita dan personafikasi pelaku antara kaba lama dan kaba baru mempunyai perbedaan. Pada kaba lama, tema umumnya ialah tentang proses perjodohan anak-anak raja, tentang sumpah yang dilanggar, tentang perjaka miskin yang menjadi kaya, atau tentang derita fantasi yang tak masuk akal. Sedangkan pada kaba baru tema cerita lebih cendrung berupa kritik sosial terhadap tirani golongan tua atau golongan berkuasa. Misalnya dalam “Kaba Siti Nurlela” yang mengisahkan seorang laki-laki yang sukses dalam perdagangan, kemudian bankrut oleh ulah mamaknya yang penjudi, “Kaba Si Sabariah” yang mengisahkan ibu yang mata duitan yang memaksa perceraian anaknya agar dia memperoleh menantu yang lebih kaya. Kritik sosial sangat menonjol pada “Kaba Tuanku Lareh Simawang“, “Kaba Si Udin Anak ‘rang Palembayan“, “Kaba Tuanku Lareh Situjuh” sebagai contoh.

Orang Mlnangkabau lebih menyukai perkawinan antara sesama mereka. Lebih-lebih bagi laki-lakinya. Apabila Tuanku Laras Simawang menikah lagi dengan gadis asli Minangkabau, hal itu bukan hanya wajar, malah sepatutnya. Dan apabila Siti Jamilah, isrtinya menghalangi perkawinan itu, tapi karena tidak terhalangi lalu bunuh diri, memang merupakan tragedi. Namun imajinasi subjektif tukang kaba menjadikan kisah itu menimbulkan antipati ke pihak Tuanku Lareh dengan “mendramatisir” kisahnya. Bukan mengenai tragedi itu, melainkan perubahan sikap setelah menjadi Tuanku Lareh lalu menghina istrinya sebagai anak kolong, padahal mereka telah hidup berbahagia sebelumnya.

Demikian pula dengan cerita “Kaba Si Udin Anak ‘rang Palembayan“. Simpati terhadap si Udin ditampilkan oleh tukang kaba, bukan karena dia dihukum gantung oleh Pengadilan Negeri karena menyamun dan membunuh, melainkan karena hukum gantung itu dilaksanakan dihadapan sanak keluarga dan orang kampungnya, bahkan dihadapan tunangannya sendiri. Tindakan itu bukan saja suatu penghinaan atas si Udin, juga terhadap seluruh masyarakat yang tidak berdaya sehingga kehilangan harga dirinya sebagai bangsa yang menganut filsafat persaudaraan komunal dengan nila-nilai raso jo pareso (tepo saliro). Sedangkan “Kaba Tuanku Lareh Situjuh” merupakan kaba yang terbaru yang dimainkan oleh randai yang mengisahkan tindakan aparat pemerintah zaman kini yang melakukan pungutan pajak Ipeda (luran Pembangunan Daerah) dengan paksa dengan mengambil padi rakyat yang baru saja disabit di tengah sawah. Padahal hasil padi tidaklah dikenakan pajak apa pun juga. Tapi kisah itu oleh tukang kaba itu sebagai peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Belanda.

Personifikasi pelaku pada kaba lama sangat disamarkan, begitu juga nama tempat. Dari nama pelaku yang dipakai sudah dipahami tingkah lakunya. Orang baik lazim memakai nama yang baik pula, seperti Sabai Nan Aluih, Puti Bungsu, Sutan Bajabatan, Sutan Barbanding, Umbuik Mudo. Sedang nama orang jahat dilazimkan seperti Tiang Bungkuak, Tareh Jilatang, Mangkutak, Talipuak Layua. Demikian pula nama tempat cerita bermain, seperti Sungai Ngiang, Kampuang Aua, Kampuang Tibarau atau nama-nama lainnya. Pada kaba baru pemberian nama pelaku dan nama tempat dipakai yang lazim digunakan. Seperti Siti Baheram, Nurlela, Syamsiah, Baheram, Asamsudin, Tuanku Mudo, Pamuncak Alam untuk nama orang. Sedangkan untuk nama tempat disebutkanlah nama desa atau tempat yang memang ada seperti Lubuak Basuang, Simawang, Situjuah, Bukit Tinggi, Pakan Rabaa. Namun kaba tidak mengangkat cerita dongeng sebagai bahan cerita. Seolah dongeng bukan susastra Minangkabau. Mungkin jadi dongeng dipandang cocok untuk anak-anak.

Kaba Sebagai Hasil Kebudayaan.

Setidak-tidaknya ada dua priode penciptaan kaba, jika dilihat pada ciri yang khas pada struktur sosiologis cerita, tema dan personafikasi pelaku serta nama-nama tempat cerita bermain. Menilik pada kepustakaan, kaba yang diklasifikasikan pada priode pertama kentara sekali struktur dan isi ceritanya menyimpang dari sistem sosial, bahkan dari struktur kebudayaan Minangkabau. Hal ini merupakan suatu hal yang ganjil, bahwa hasil suatu kebudayaan tidak mencerminkan kehidupan kebudayaannya. Akan tetapi tidaklah menjadi ganjil apabila sumber kaba tersebut berasal dari hasil kebudayaan lain.

Lalu timbullah pertanyaan, kenapa kaba mengambil sumber cerita asing, dan tidak satu pun tentang epos dan episode Minangkabau sendiri?

Memang di dalam kaba yang mengambil sumber dari tambo telah mengisahkan kerajaan zaman Bundo Kandung dengan mengisahkan juga struktur pemerintahan kerajaan, namun tidak ada kaba lain yang mendukung kejayaan zaman itu seperti halnya Praraton di Jawa atau hikayat di Semenanjung Melayu. Sehingga riwayat Kerajaan Pagaruyung atau pun Minangkabau bersama tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Sultan Alif di abad ke-17 dan Sutan Bagagarsyah abad ke-19 tidak terdapat dalam kaba. Beberapa tokoh legendaris yang lebih tua seperti Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang beserta Cati Bilang Pandai yang merupakan tiga serangkai negarawan dan filosof pendiri dasar-dasar Minangkabau, nampaknya juga tidak termasuk dalam perbendaharaan kaba. Jadi kaba yang merupakan bentuk kesusasteraan cerita, tidak berperan sebagai media untuk memperkenalkan serta mengawetkan episode dalam sejarah Minangkabau.

Sebagai penganut Islam yang taat, peristiwa kebesaran Islam dengan Nabi-nabi dan sahabat-sahabat Nabi yang selalu diceritakan pada peristiwa keagamaan, juga tidak terdapat dalam perbendaharaan kaba. Dan dengan sendirinya pula kaba tidak mengisahkan ulama besar Syeikh Burhanudian Ulakan yang muncul pada abad ke-17, bahkan yang mengislamkan raja Minangkabau pertama, Sultan Alif.

Dalam priode kedua yang menampilkan kaba baru yang lebih asli pengambilan sumber-sumber ceritanya, juga tidak mengisahkan tokoh rakyat yang penting dalam berbagai peristiwa sejarah, seperti kisah Tuanku Nan Renceh dengan Harimau nan Salapan pencetus gerakan Paderi atau Sultan Bagagarsyah pewaris kerajaan Pagaruyung yang ditawan Belanda atau Tunku Imam Bonjol tokoh yang paling terkemuka dalam Perang Paderi.

Tangan kekuasaan kolonial tidak dapat dijadikan alasan sebagai menghambat penampilan kisah-kisah demikian. Padahal kisah perang Paderi dan lukisan Tuanku Imam Bonjol dimasukkan kedalam buku pelajaran membaca huruf Arab pada sekolah rendah. Lebih-lebih lagi kepintaran tukang kaba bercerita tidak akan dapat dibendung dengan mudah, seperti halnya kepintarannya dalam menyampaikan kaba “Si Udin Anak ‘rang Palembayan” sehingga kedudukan si Udin ditempatkan pada tempat simpati bernaung.

Apabila kisah kaba tidak menampilkan epos dan episode sejarah, malahan sebagai yang terlihat terutama pada kaba pada priode kedua yang lebih menonjolkan perannya sebagai media kritik sosial, maka hal itu mungkin dapat dilihat dari latar belakang filsafat Minangkabau yang telah membentuk watak manusianya. Mungkin jadi pula hal itu dapat dimulai dengan mengenal bahwa Minangkabau lebih merupakan suatu kebudayaan etnis dari pada suatu bangsa yang tumbuh dan besar karena menganut suatu sistem monarki. Pengenalan pada nama Minangkabau pertama dimulai dengan satu catatan pada prasasti Sriwijaya pada akhir abad ke-7 di kedudukan Bukit dekat Batang Kampar di Provinsi Riau dewasa ini. Kerajaan yang berselang-seling sampai abad ke-14 pada bahagian pantai timur pulau Sumatera yang secara etnologis bukanlah pendukung kebudayaan Minangkabau. Baru pada pertengahan abad ke- 14, Aditiawarman masuk ke pusat Minangkabau dan mendirikan pusat kerajaan di Pagaruyung. Dalam keadaan yang sudah sangat lemah kerajaan itu pun lenyap setelah pendudukan kekuasaan Belanda pada abad ke-19.

Meski dalam sejarah Minangkabau dikenal adanya raja-raja yang menguasai daerah tersebut, namun kedudukan raja-raja tersebut haruslah dipahamkan sebagaimana hadirnya kekuasaan asing yang secara berganti menguasai berbagai daerah di Minangkabau, seperti wilayah pesisir oleh Aceh yang kemudian oleh Belanda di seluruh tanah itu. Kekuasaan asing yang silih berganti itu, secara budaya tidaklah Minangkabau sampai menganut sistem monarki dalam kehidupan masyarakatnya yang paling bawah. Sistem pemerintahan yang paling bawah disebut nagari menganut sistem pemerintahan “republik kecil” dengan pimpinan kolektif oleh para penghulu yang terdiri dari pimpinan “partai” yang mereka sebutkan sebagai “suku”. Sedangkan ajaran filsafatnya meletakkan manusia dalam prinsip “samo” yang mengandrungi makna kebersamaan, persamaan dan kesamaan sesamanya. Sehingga tidak ada individu, kelompok atau apapun juga yang lebih tinggi dari yang lain. Yang mereka muliakan adalah orang tua, yang “didahulukan salangkah dan ditinggikan seranting “, sedangkan yang dihormati ialah penghulu “besarnya karena diambak dan tingginya karena dianjung “. Pengertiannya ialah bahwa kemulian dan kehormatan yang diberikan itu mempunyai pembatasan, sepanjang jabatan itu lengket padanya. Dan jika dia meninggal kemuliaan dan kehormatan itu dialihkan pada penggantinya, dan kuburnya tidak diperlakukan dengan istimewa dalam bentuk apapun juga. Oleh karena itulah di Minangkabau tidak ada kuburan khusus penghulu. Yang dikeramatkan hanya kuburan ulama tarekat oleh para jemaahnya saja, seperti halnya kuburan Tuanku Ulakan oleh jamaah Syattari. Karena tidak adanya kuburan yang dikeramatkan atau dimuliakan, juga tidak ada prasasti setelah zaman Aditiawarman, mungkin dapat memberi petunjuk bahwa Minangkabau tidak memiliki kebudayaan pujaan atas individu dalam bentuk apapun juga.

Oleh karena kebudayaan menolak sistem monarki dan pemujaan atas individu, dapat memberi petunjuk kenapa cerita epos atau epik tidak ditemui dalam kebudayaan Minangkabau, sebagaimana lazimnya yang dapat ditemui pada bangsa-bangsa yang menganut sistem monarki. Maka apabila kaba sebagai hasil kesusasteraan itu dapat tumbuh, selain karena bentuknya betul-betul bersifat pelipur lara dengan meminjam kisah orang lain, juga kaba dapat dijadikan sebagai media untuk mencantumkan ajaran-ajaran disamping memberikan koreksi terhadap penyimpangan cara hidup manusianya sendiri, seperti yang ditemui pada kaba baru.

Terutama jikalau pandangan hidup mereka yang demokratis tidak mendapat saluran pada lembaga formal, maka kaba menjadi media untuk menyatakan segala perasaan dan pikiran, yang adakalanya disampaikan dengan sindiran atau ejekan pada kesempatan penceritaan kaba oleh tukang kaba atau pemain randai. Ide untuk menyampaikan koreksi atau kritik sosial tidak selalu muncul dari pemikiran tukang kaba atau pemain randai; yang lebih sering ialah oleh karena ada pesanan dari para audiensnya. Dan ucapan yang mengenai sasarannya selalu mendapat sambutan yang gemuruh. Hal yang sama berlaku juga pada pedendang yang diiringi rebab dan salung.

Catatan.

  1. Kaba menurut bahasa umumnya berasal dari bahasa Arab yang dilafazkan kedalam bahasa Indonesia menjadi kabar dan dalam bahasa Minangkabau disebut kaba. Alasan tersebut diperkuat oleh adanya pantun pembukaan dari kaba: dari langik tabarito tibo di bumi jadi kaba yang maksudnya dari langit berberita sampai di bumi jadi kabar. Namun dalam berbagai ungkapan, istilah kaba sering didahului oleh istilah curito hingga menjadi curito kaba (cerita kaba), yang dalam ilmu bahasa sulit dipahami pengertiannya kalau diartikan sebagai cerita kaba. Jika dilihat dari sumber pengambilan ilmu pengetahuan atau cendikiawan Minangkabau kuno, ternyata sumbernya selalu dari bahasa sansekarta, maka jika dicari ke bahasa Sanskerta, maka kaba artinya ialah pelipur lara atau senda gurau. Maka curito kaba dapat dipahami sebagai cerita pelipur lara, bila dibandingkan dengan cerita kabar seperti yang umumnya ditafsirkan orang.
  2. Dalam “Kaba Siti Jamilah” dan “Tuanku Lareh Simawang” yang berisi lebih kurang 8000 kata terdapat 83 buah pantun atau seperenam dari seluruhnya. “Kaba Umbuik Mudo” memiliki 168 buah pantun atau seperlima dari seluruh cerita.
  3. Umumnya orang berpendapat bahwa “Kaba Cindua Mato” merupakan salah satu episode sejarah Minangkabau dalam bentuk epos “Cindua Mato“, Tapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa “Kaba Cindua Mato” merupakan senikal Minangkabau terhadap sistem monarki Pagaruyung. Dalam kaba dikisahkan bahwa Ratu Minangkabau yang bernama Bundo Kandung bersama putera Mahkotanya yang bernama Dan Tuanku yang tidak diketahui ayahnya (menurut setengah pendapat ayahnya ialah seorang hamba istana yang bernama Bujang Selamat) mengalami kekalahan total dalam peperangan melawan Imbang Jaya. Istananya terbakar dan keduanya dikatakan Mijraj ke langit. Tapi akhirnya Imbang Jaya dengan rajanya yang bernama Tiang Bungkuk dikalahkan oleh Cindua Mato. Lalu Cindua Mato yang ayahnya Bujang Selamat dan ibunya Lenggo Geni, seorang inang pengasuh itu, mengangkat dirinya jadi raja. (Ada cerita lain bahwa Cindua Mato anak kedua dari Bundo Kandung karena hubungannya dengan Bujang Selamat). Penceritaan kaba demikian seolah hendak melukiskan betapa “rapuh” nya sistem monarki yang singgasananya boleh saja diduduki oleh hamba dan dayang-dayang.
  4. Tukang Kaba semacam traubador. Sebagai pencerita umumnya melaksanakan tugasnya seorang diri. Narasi umumnya disampaikan dengan dendang dan dialog disampaikan dengan gaya berpantun. Tidak ada suatu keseragaman cara untuk menyampaikan kaba. Ada yang menyampaikan dengan berdiri sambil berjalan berlingkar-lingkar dan adakalanya didukung oleh mimik dan lakon dengan gerakan tarian pencak. Ada juga yang duduk bersila dengan menopang kepalanya pada tangan yang sikunya bertumpu pada paha. Adakalanya kaba disampaikan dengan iringan rebab yang dimainkan sendiri atau oleh temannya dan adakalanya dengan alat tiup salung. Alat pengiring yang digunakan tergantung dari mana asal Tukang Kaba itu. Jika di Pesisir memakai rebab, sedangkan di Darek saluang. Di Payakumbuh memakai kotak korek api yang berisi separoh dan diketukkan ke lantai hingga menimbulkan bunyi. Gaya ini disebut “basiojobang”. Spesialisasi cerita kabanya pada mulanya Nan Tungga Magek Jabang, dan karena sangat populer gaya demikian disebut “basijabang” atau “basiojobang” menurut dialek mereka.
  5. Randai yang semulanya berasal dari berandai-andai yang artinya berhibur, setelah melalui berbagai proses yang panjang akhirnya berbentuk sebagai suatu teater rakyat, sebagai teater rakyat penjelmaannya belum begitu lama, yaitu sekitar tahun 30-an. Ketika pemain randai terpengaruh pada kejayaan sandiwara siswa Sekolah Raja pada tahun 1928 dengan menampilkan cerita “Cindua Mato” dalam bahasa Minangkabau.
  6. Wilayah etnis Minangkabau hampir persis seluas ex Keresidenan Sumatera Barat pada masa Hindia Belanda atau lebih luas dari pada provinsi Sumatera Barat sekarang. Pada masa pra Hindia Belanda kekuasaan terbagi dua. Bahagian pedalaman yang merupakan pusat Minangkabau yang disebut Luhak dengan penghulu yang memimpin nagari-nagarinya. Sedangkan bagian pantai disebut Rantau dengan Raja kecil atau Raja Muda yang menjadi pemimpin nagarinya. Status raja kecil atau raja muda merupakan wakil dari raja yang bertahta di Pagaruyung. Kemudian karena bujukan kekuasaan Aceh, atau Portugis atau Belanda, raja-raja di sepanjang pantai membebaskan dirinya dari kekuasaan Pagaruyung. Pengaruh asing itu banyak sekali merubah pola budaya Minangkabau di bagian pantai. Sehingga timbullah istilah “darek” yang berasal dari daratan yang terletak di pedalaman dan “pesisia” bagi yang berasal dari “pesisir” yaitu istilah yang lebih bersifat untuk membedakan variasi kebudayaan Minangkabau yang mereka anut.
  7. Kisah yang ajaib dalam kaba berbeda dari dongeng rakyat Minangkabau. Dongeng rakyat umumnya bersumber dari bentuk-bentuk keajaiban alam. Seperti halnya “Dongeng Malin Kundang” yang bersumber dari bentuk batu yang ajaib di pantai selatan kota Padang, dimana perbenturan ombak yang memecah dengan batu di pantai yang menimbulkan bunyi seperti rintihan. Demikian juga “Dongeng Si Bincik” yang bersumber dari sebuah gua yang indah dekat kota Payakumbuh. Dongeng rakyat Minangkabau juga tidak pernah diangkat kedalam kisah kaba. Ada yang berpendapat karena isi cerita dongeng terlalu pendek sehingga tidak akan menarik untuk diangkat ke dalam kaba. Jika mengingat banyak cerita kaba yang sangat sederhana pula kisahnya seperti “Rancak di Labuah“, “Si Marantang” dan sebagainya, maka isi kisah yang mudah atau sederhana atau pendek agaknya tidak begitu hebat dijadikan alasan. Alasan yang sementara dapat diterima adalah sebagaimana kaba yang bukan merupakan hasil kebudayaan Minangkabau pada mulanya, dongeng pun demikian pula halnya. Sehingga tema cerita dongeng hampir boleh dikatakan menyimpang pula dari sistem sosial Minangkabau. Umpamanya tema cerita dongeng tentang seorang anak laki-laki yang mendurhaka pada ibunya, lalu disumpahi menjadi batu. Dalam sistem masyarakat komunal, peranan ibu pada anaknya yang laki-laki tidaklah demikian mendalam jika dibandingkan kepada anak perempuan, oleh karena sejak sekitar usia 10 tahun anak laki-laki tidak tinggal serumah dengan ibunya. Mareka sudah harus tinggal di surau, dan sudah harus berfungsi sebagai anggota masyarakat lainnya yang seusia. Dari itu betapa pun tingkah laku seorang anak akan sulit digambarkan sebagai suatu pendurhakaan yang makan sumpah ibunya. Karena menurut ajaran Adat Minangkabau seseorang lebih mengutamakan pengabdiannya kepada kaumnya jika dibandingkan pada kepada seorang individu. Jika dilihat dari sumpah yang dikenal dalam kebudayaan Minangkabau, yakni semacam sumpah menurut ajaran karma yang lazim disebut “ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah-tengah dilarik kumbang “. Sedangkan menyumpahi anak durhaka menjadi batu lebih cendrung kepada kepercayaan animisme, dan juga sikap penyumpahan si ibu, lebih merupakan kepada sikap yang sangat individualis. Memang dalam berbagai kaba ditemui peristiwa termakan sumpah seperti dalam “Kaba Tupai Janjang“, “Kaba Puti Jailan” dan sebagainya, namun sumpah itu diarahkan ke atas, yaitu kepada raja dan kepada anak raja. Sedang sumpah dongeng “Malin Kundang” dan “Si Bincik” merupakan sumpah yang diarahkan ke bawah, yakni kepada anak. Mungkin karena arah penyumpahan kepada anak itu, tidak cocok bagi konsumsi orang dewasa Minangkabau, maka cerita dongeng yang bersumber dari keajaiban alam disekitar mereka itu tidak pernah diangkat menjadi kaba. Dongeng demikian dibiarkan untuk konsumsi anak-anak sebagai alat didaktis.

BACAAN.

Hamka, “Kenang-kenangan Hidup II“, Jakarta, Bulan Bintang, 1974

………, “Di Dalam Lembah Kehidupan“, Jakarta, Bulan Bintang, 1976.

Mansur, M.D et.al. “Sejarah Minangkabau», Jakarta, Bratara, 1970

Rajab, M, “Kasusastraan Kaba Minangkabau: Suatu Penilaian” dalam “Himpunan Prasaran dan Kertas Kerja Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau“, Pemerintah Daerah Kota Madya Padang, 1970.

UmarJunus, “Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problem” dalam “Kertas Kerja Seminar Internasional mengenai Kesusasteraan, Kemasyarakatan dan Kebudayaan Minangkabau“, Bukittinggi. 1980.

………, “Kaba and the Minangkabau social system: A theoretical Problem of the sociology of literature” (sebuah naskah yang sedang dikerjakan).

000